Kali ini saya tidak ingin mengupas teknis ekonomi, saya lagi
ingin merenung-renung tentang kebahagiaan. Mengapa kita susah payah bekerja
dengan segala risikonya bila hidup kita tidak bahagia. Kalau kita tak bahagia,
bagaimana mungkin membahagiakan orang lain? Jadi, sekarang kita ambil secangkir teh hangat
dulu....
Having Religion But Not Religious, begitu judul kolom Pak Komaruddin Hidayat di Infobank
Februari 2017. Judul ini memprovokasi saya. Rasanya saya sudah sangat beriman.
Setiap kali ada kolom pertanyaan agama di suatu formulir, saya isi perlahan
dengan tulisan tangan yang hati-hati, saya bangga sekali dengan keimanan saya.
Sampai ketika hari ini, kolom Pak
Komaruddin membangunkan saya.
Beliau memulai dengan Erich Fromm yang membedakan To Have dan To Be. To Have adalah
sesuatu yang bersifat tempelan berasal dari luar. Kalau ada orang berkata pada
saya, tulisan saya bagus, itu berarti yang bagus adalah tulisan saya, bukan
saya. Orang yang mengatakan mobil saya
bagus, itu menilai mobil saya, bukan menilai saya. Beda dengan To Be. Ini urusan di dalam diri manusia.
Bisa saja orang menilai mobil saya bagus, tapi, diri saya belum tentu pengemudi
yang baik. Jangan-jangan saya orang yang ugal-ugalan di jalanan.
Orang-orang bisa menilai saya seorang pekerja yang baik,
pemimpin yang sukses, dengan gaji yang luar biasa. Bukankah itu impian setiap
kita, para profesional dalam bekerja? Tapi, apakah mereka tahu apa yang ada
dalam kualitas diri saya? Padahal saya hanya menyulap laporan keuangan dengan
mengotak-atik kebijakan akuntansi, sehingga laba melonjak. Maklum, bukankah
bonus tahunan juga dihitung dari laba. Mereka tak tahu, saya memoles
kredit-kredit yang berpotensi non performing agar selalu nampak hebat. Mereka juga tak tahu, bagaimana saya memakai
ide-ide staf saya, atau orang lain, yang saya akui sebagai ide saya sendiri,
sehingga saya nampak sebagai orang yang sangat cerdas.
Begitulah, kalau kita menggunakan To Have sebagai tujuan
hidup. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Tapi, apakah kita bahagia? “Having a
religion does not mean necesesarily being a religious person.” Begitu dikatakan
Pak Komaruddin. Benar sekali. Barangkali karena itulah kita yang selalu
mengejar bonus dan karir dan predikat sebagai orang beragama, selalu merasa tak
bahagia. Karena, kita mencarinya dari luar. Seandainya saya selalu berbuat
baik, tak usah poles memoles angka keuangan untuk tampilan laba, seandainya
saya tidak selalu berpikir “having position” seandainya saya selalu menjalankan
ketentuan agama saya tanpa peduli apakah akan dinilai oleh orang lain atau
tidak – yang penting berbuat kebaikan, saya yakin akan merasakan kebahagiaan
yang sebenarnya.
Mencari di dalam diri ini, barangkali seperti kita memahami
Sang Pencipta yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kemudian melekatkan sifat
Maha Pengasih dan Penyayang itu dalam diri kita. Seperti titik yang merupakan
turunan garis, sehingga harus memiliki sifat-sifat garis tersebut. Dalam bahasa yang sedikit keren, kita sebut
sangkan paraning dumadi – asal tujuan segala apa yang diciptakan. Menyatukan
diri dengan Sang Pencipta, agar dapat memahami (kaweruh) kehendak Sang
Pencipta. Dengan satu kata, kita menyebutnya Integritas.
Mari, teh panas lagi.....