Jumat, 03 Februari 2017

To Have dan To Be


Kali ini saya tidak ingin mengupas teknis ekonomi, saya lagi ingin merenung-renung tentang kebahagiaan. Mengapa kita susah payah bekerja dengan segala risikonya bila hidup kita tidak bahagia. Kalau kita tak bahagia, bagaimana mungkin membahagiakan orang lain?  Jadi, sekarang kita ambil secangkir teh hangat dulu....

Having Religion But Not Religious, begitu judul  kolom Pak Komaruddin Hidayat di Infobank Februari 2017. Judul ini memprovokasi saya. Rasanya saya sudah sangat beriman. Setiap kali ada kolom pertanyaan agama di suatu formulir, saya isi perlahan dengan tulisan tangan yang hati-hati, saya bangga sekali dengan keimanan saya. Sampai ketika hari ini,  kolom Pak Komaruddin membangunkan saya.

Beliau memulai dengan Erich Fromm yang membedakan To Have dan To Be. To Have adalah sesuatu yang bersifat tempelan berasal dari luar. Kalau ada orang berkata pada saya, tulisan saya bagus, itu berarti yang bagus adalah tulisan saya, bukan saya.  Orang yang mengatakan mobil saya bagus, itu menilai mobil saya, bukan menilai saya. Beda dengan To Be. Ini urusan di dalam diri manusia. Bisa saja orang menilai mobil saya bagus, tapi, diri saya belum tentu pengemudi yang baik. Jangan-jangan saya orang yang ugal-ugalan di jalanan.

Orang-orang bisa menilai saya seorang pekerja yang baik, pemimpin yang sukses, dengan gaji yang luar biasa. Bukankah itu impian setiap kita, para profesional dalam bekerja? Tapi, apakah mereka tahu apa yang ada dalam kualitas diri saya? Padahal saya hanya menyulap laporan keuangan dengan mengotak-atik kebijakan akuntansi, sehingga laba melonjak. Maklum, bukankah bonus tahunan juga dihitung dari laba. Mereka tak tahu, saya memoles kredit-kredit yang berpotensi non performing agar selalu nampak hebat.  Mereka juga tak tahu, bagaimana saya memakai ide-ide staf saya, atau orang lain, yang saya akui sebagai ide saya sendiri, sehingga saya nampak sebagai orang yang sangat cerdas.

Begitulah, kalau kita menggunakan To Have sebagai tujuan hidup. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Tapi, apakah kita bahagia? “Having a religion does not mean necesesarily being a religious person.” Begitu dikatakan Pak Komaruddin.  Benar sekali.  Barangkali karena itulah kita yang selalu mengejar bonus dan karir dan predikat sebagai orang beragama, selalu merasa tak bahagia. Karena, kita mencarinya dari luar. Seandainya saya selalu berbuat baik, tak usah poles memoles angka keuangan untuk tampilan laba, seandainya saya tidak selalu berpikir “having position” seandainya saya selalu menjalankan ketentuan agama saya tanpa peduli apakah akan dinilai oleh orang lain atau tidak – yang penting berbuat kebaikan, saya yakin akan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya.

Mencari di dalam diri ini, barangkali seperti kita memahami Sang Pencipta yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kemudian melekatkan sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu dalam diri kita. Seperti titik yang merupakan turunan garis, sehingga harus memiliki sifat-sifat garis tersebut.  Dalam bahasa yang sedikit keren, kita sebut sangkan paraning dumadi – asal tujuan segala apa yang diciptakan. Menyatukan diri dengan Sang Pencipta, agar dapat memahami (kaweruh) kehendak Sang Pencipta. Dengan satu kata, kita menyebutnya Integritas.


Mari, teh panas lagi.....